K.P. SHK

Duri-Duri Rotan

Pungli dan perijinan di usaha rotan sangat mendominan. Hal ini salah satu yang menjadi duri di sektor yang semakin tidak diperhatikan Pemerintah ini. Sebelum rotan dipanen dan diangkut ke luar kebun atau hutan, pengepul (pengumpul) rotan hanya mendapat ijin pengolahan rotan sebanyak 20 ton ( tiga truk) selama setahun tergantung daerahnya.

“Untuk mendapat seratus ton rotan dari petani, harus ada lima ijin pengolahan rotan. Atau pakai lima nama pengaju ijin. Masing-masing ijin hanya boleh mengolah dua puluh ton dengan masa ijin tak tentu, ada yang empat bulan hingga setahun,” jelas Hengki (40 tahun), pemilik salah satu usaha dagang rotan di Jakarta (13/4).

Dengan regulasi perijinan dan perdagangan rotan yang ada sekarang, menurut Hengki yang mendatangkan rotan-rotan dari Sulawesi ke Jawa ini, pengepul mengurus ijin pengolahan rotan untuk tiap duapuluh ton bisa hampir tiap dua minggu sekali. Untuk duapuluh ton rotan basah, setelah diolah berat kering mencapai 10 ton (menyusut 50%). Perijinan pengolahan tidak efisien dan rumit.

Selain soal rumit dan tidak efisiennya ijin pengolahan rotan, ada juga pungli. Di beberapa tempat, ditengarai pungli terjadi mencakup 20-an pos pungutan dari mulai rotan diangkut dari kebun atau hutan ke tempat pengolahan atau pengepul. Pungli ini dapat mencapai 20% dari harga jual rotan di tingkat pengepul bergantung daerah asal rotan.

“Sudah rumit di ijin pengolahan, biaya untuk angkut mahal. Itu belum lagi ditambah bayar pungutan-pungutan di jalan. Untuk 1 ton rotan harga kira-kira 1,2 juta rupiah. Punglinya ya berkisar 20%-an. Tak tentu lah,” ungkap Hengki tentang masih berlangsungnya pungutan-pungutan liar di sektor rotan.

Pungutan liar atau pungli di sektor ini akan dibebankan kepada petani rotan. Pengepul dan pedagang rotan akan tetap mengambil murah rotan petani, karena pengepul mengeluarkan biaya ijin dan pungli.

Panjar Pengepul

Bagi pedagang rotan adanya jaminan pasokan dari pengepul rotan sangat menentukan roda usahanya. Pedagang-pedagang rotan besar yang ada di Jawa mendapat pasokan rotan dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pusat pedagang besar dan perdagangan rotan di Jawa salah satunya di Ceribon, terutama pedagang rotan bahan baku.

“Kami mendapat pasokan rotan dari Sulawesi, rotan alam. Kami di beberapa tempat seperti Gorontalo dan Palu punya pelaksana (pengepul-red). Untuk jamin ada rotan di pelaksana, kami panjar dulu,” jelas Elvis, direktur salah satu perusahaan dagang rotan di Ceribon (16/4).

Menurut Elvis, cara panjar adalah cara efektif untuk mendapat kepercayaan pelaksana rotan di lokasi-lokasi dimana rotan diusahakan oleh petani sekitar hutan, selain sebagai upaya untuk tetap mendapat jaminan pasokan rotan di tingkat pengepul. Perusahaan dagang yang dikelola Elvis hanya memperdagangkan tiga jenis rotan untuk kebutuhan pemenuhan permintaan rotan dengan diameter 20-28 mili meter, yaitu jenis rotan batang, tohiti dan lambang.

Elvis mengaku, di tingkat pengepul tidak mau menjual rotan-rotan tertentu. Pengepul menjual semua jenis rotan tidak bergantung dengan diameter rotan sesuai permintaan. Elvis membeli semua jenis rotan dari pengepul, alasannya kalau tidak begitu perusahaannya yang hanya mendagangkan rotan Sulawesi ini akan sulit mendapat pasokan rotan.

“Kami hanya memasok kebutuhan di Jawa. Rotan kami khusus dari Sulawesi. Pelanggan kami, perusahaan kerajinan dan mebel di Cirebon. Dan sesekali memasok perusahaan eksportir,” lanjut Elvis.

Persoalan-persoalan ijin, pungli dan politik rotan (tarik-menarik kepentingan asosiasi pengusaha dan mebel rotan dalam mempengaruhi kebijakan ekspor rotan-red), bagi Elvis menjadi hal yang rumit dipecahkan. Perusahaan yang dipimpinnya hanya fokus bagaimana selalu mendapat pasokan dari Sulawesi. Persoalan ijin, pungli dan politik menjadi ‘duri-duri’ di sektor rotan, hal tersebut perlu penanganan layaknya rotan saat belum diolah.

Leave a Reply

Lihat post lainnya