K.P. SHK

Dialog Rattanation

Siaran Pers: Konsosium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan

RATTANNATION

Rotan sebagai Komoditi Dagang dan Simbol Persahabatan

Peribahasa  “Tiada  Rotan Akar pun Jadi” secara eksplisit mencitrakan rotan sebagai barang langka yang susah didapat dan harganya relative mahal. Tumbuhan khas hutan tropis ini memiliki batang yang kuat dan daya lenting yang elastis.  Sudah sejak lama  orang menggunakan rotan sebagai bahan perabotan rumah tangga, seperti tikar dan kursi rotan. Jjuga sebagai alat penegakan hukum, misalnya saja cambuk rotan. Itu menunjukkan bahwa rotan memiliki makna sosial dan ekonomi bagi masyarakat hutan tropis,seperti Indonesia.

Selain itu sejarah juga menunjukkan bahwa rotan telah lama menjadi komoditi dagang dunia. Sebut saja misalnya, pemberian “sepikul rotan” di masa Sriwijaya kepada salah satu kerajaan di India sebagai tanda persahabatan. Atau  “baju perang rotan” yang terkenal di seluruh dunia dari hubungan Majapahit-China dan hadiah “rotan putih” dari kerajaan di Semenanjung Sumatera (Pasai) kepada kerajaan Islam di India sebagai simbol kekerabatan.

Keberadaan Rotan di Indonesia

Hutan tropis Indonesia yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua menjadi habitat yang tepat bagi pertumbuhan rotan. Tutupan (kanopi) hutan jelas mendukung penjalaran rotan di pelbagai jenis pohon juga menjaga kelembapan di tanah. Mutualisme yang terbangun tadi membuat rotan layak dikembangkan menjadi komoditi unggulan hasil hutan non kayu dari Indonesia.

Tidak heran bila masyarakat yang tinggal di sekitar hutan menggantungkan hidupnya  dari rotan sebagai petani atau pemungut.  Menurut data KpSHK terdapat 80-an juta penduduk Indonesia yang memanfaatkan rotan sebagai sumber kehidupannya. Jumlah tadi belum termasuk para pengrajin rotan yang umumnya tinggal di pulau Jawa.

Polemik Bisnis Rotan Indonesia

Sejak 1979, Indonesia telah menjadi pengekspor rotan mentah dunia yang cukup berpengaruh. Bahkan Negara ini mampu memproduksi 696.000 ton rotan pada tahun itu (setara 82% kebutuhan rotan dunia). Namun kekurangseriusan pemerintah dalam memanfaatkan komoditi ini berujung pada persoalan yang tak berkesudahan. Misalnya saja regulasi ekspor yang tak runtut, tumpang tindih kewenangan antarsektor, monopoli dagang, overstock, dan rendahnya kualitas.

Akibatnya setiap tahun produksi rotan Indonesia mengalami penurunan jumlah yang cukup signifikan (liat table di bawah ini).

Tahun Produksi Non-Kayu Produksi Rotan Presentase Produksi
1996/97 899.956 51.564 5,73%
1997/98 774.616 32.389 4,18%
1998/99 715.917 62.644 8,75%
1999/00 689.553 38.417 5,57%
2000 525.921 94.752 18,02%
2001 229.987 23.836 10,36%
2002 249.300 17.779 7,13%
2003 342.411 127.295 37,18%
2004 10.005.240 1.880.503 18,80%
2005 550.107 221.381 40,24%

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan

Sampai era 80-an rotan masih jadi prmimadona ekspor hasil hutan bukan kayu. Barang ini juga  menjadi perebutan antara asosiasi kerajinan dan mebel. Ketika pososinya sangat kuat, Pemerintah justru membuat kebikajan yang memperbolehkan  monopoli dalam tata bisnis rotan melalui penunjukan agen tunggal eksportir rotan mentah. Akibatnya daya saing rotan semakin lemah dan banyak pihak, termasuk petani dan pengrajin rotan mengalami kerugian akibatkebijakan  monopoli tersebut.

Meski berusaha memperbaiki kekeliruannya dengan menghentikan ekspor rotan yang monopolis, pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.12 tahun 2005 kembali menerbitkan peraturan yang justru membatasi kuota ekspor rotan yang dipatok sejumlah 77.000 ton.

Akibatnya pada 2005, sebanyak 3000-an petani rotan yang tergabung dalam P3R (Perkumpulan Petani dan Pengrajin Rotan) Kedang Pahu-Kutai Barat, Kalimantan Timur, mengeluh karena rotan mereka tidak oleh industri-industri manufaktur di Jawa.

Kebijakan itu berbuah bencana ketika tahun 2009, para pengrajin (industri manufaktur dan skala rumah tangga) di Jawa justru mengalami kelangkaan pasokan rotan mentah dari Kalimantan dan Sulawesi. Keadaan itu memaksa Menteri Perdagangan kembali merevisi peraturannya (No. 36 tahun 2009) yang menetapkan kuota produksi sebesar 35.000 ton dengan ketentuan prioritas pasar domestik. Diperkirakan 60% industri kerajinan gulung tikar akibat polemik tiada akhir ini, padahal 600.000 pengrajin, yang sebagian besar adalah perempuan, bergantung kepada industri kerajinan nasional.

Jika kondisi sektor rotan semakin buruk dan tidak ada perubahan kebijakan pemerintah, para pelaku industri rotan nasional memprediksikan pada 2011 akan terjadi “kiamat rotan”, industri rotan nasional stop beroperasi.

CAFTA dan Keberlanjutan Bisnis Rotan

Masalah rotan tidak hanya berhenti di kebijakan ekspor. Persaingan rotan dengan produk impor mebel “rotan putih cina” (baca: plastik) mengancam keberlanjutan bisnis ini. Penandatanganan China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) menambah ancaman bagi rotan. Harga plastik dari negeri bambu yang relatif murah dibanding rotan dan belum intensifnya budidaya rotan di masyarakat membuat komoditi ini semakin sulit bersaing di pasaran.

Bayangkan, rotan petani hanya dihargai Rp 600,00/kg,  dari sebelumnya Rp 1.200,00/kg. Akibatnya petani jadi kurang bergairah untuk  melestarikan hutan , habitatnya rotan. Pilihan yang paling prakmatis adalah menjual kayu hutan lebih menguntungkan daripada rotan. Hal ini makin memacu hilangnya rotan dari pasar. Hingga saat ini, 90% rotan mentah Indonesia adalah rotan hutan non-budidaya.

Rattanation

Permasalahan yang muncul di sektor rotan seharusnya menjadi persoalan bangsa dan antarbangsa (baca: rattanation) yang perlu menjadi perhatian  bersama. Tentu perlu upaya keras untuk lepas dari polemik rotan dengan promosi tentang rotan sebagai komoditas andalan dan wujud kepedulian semua pihak terhadap keberlanjutan hutan. Bagi pelaku usaha di sektor rotan (rattanmotion); membangun jejaring bisnis dan komunikasi para pihak jelas menjadi sebuah keniscayaan (rattannet).  Dan tak kalah pentingnya adalah peran pemerintah dalam mendukung pengembangan dan perdagangan rotan melalui kebijakan dan insentif bagi para pihak yang terkait dengan komoditi ini.

Demi mewujudkan hal tersebut, Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) sengaja merancang dialog para pihak di sektor rotan guna mencari penyelesaian dari carut-marut perdagangan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu ini.  Diharapkan dialog tersebut bisa mewadahi dinamika informasi perdagangan dan ekonomi rotan secara intensif (rattaninfonomic)

Informasi lebih lanjut:

Ronald Siahaan (0251-8380301/081807971266): E-mail: ronald_jakarta90@kpshk.org

Leave a Reply

Lihat post lainnya