Privatisasi Pengelolaan SDA Picu Bencana Ekologi
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Siapa yang tidak mengenal bunyi kalimat di atas. Karena kalimat diatas menjadi dasar hukum tertinggi yang termuat dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kemudian menjadi justifikasi setiap pengembangan ekonomi secara makro di Indonesia. Sayangnya pengembangan ekonomi Indonesia sejauh ini masih terpaku pada “land based natural resources utilization”.
Terjemahan paling gamblang tentang pasal tersebut bisa di sejajarkan dengan memanfaatkan semua sumber daya alam (SDA) yang ada di setiap jengkal bumi Indonesia. Kemudian kewenangan tersebut di berikan dalam bentuk hak kelola kepada pihak-pihak tertentu yang kemudian dikenal dengan sebutan swasta atau privatisasti. Yang menjadi perhatian disini adalah “pemanfaatan” SDA Indonesia yang kaya ini dilakukan dalam kuantitas yang besar.
Kurun waktu 2006 sampai 2008 beberapa bencana ekologis selalu menghiasi media informasi di Indonesia. Dr.Indah Raya Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Hasanudin (Unhas) di Jayapura, Rabu, mengatakan model eksploitasi alam yang diijinkan pemerintah saat ini, dimana kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak boleh dikuasai pihak swasta telah meningkatkan jumlah dan jenis bencana ekologi (Antara News 15/7).
Jawa, Potret Kesejahteraan yang Tenggelam
Situ Gintung merupakan dua kasus yang menyita perhatian publik. Atas dasar menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera maka dibuat perencanaan Perumahan kelas ekonomi menengah, sebuah potret semu kesejahteraan masyarakat. Dibalik kesejahteraan tersebut pun masih tak mampu membendung kekuatan alam akibat sebuah perencanaan besar yang mengindahkan daya dukung ekologisnya.
Empat desa di Sidoarjo kini berubah menjadi kota hantu karena tenggelam diantara semburan lumpur yang sampai detik ini masih belum bisa dihentikan dari aktifitas perusahaan Lapindo Brantas. Upaya yang sejauh ini dilakukan hanya sekitar menghambat dan mengalihkan aliran lumpur – lumpur tersebut.
Kado tahunan selalu menghiasi awal tahun ibukota negara. Hampir bisa dipastikan, setiap awal tahun, hujan pasti mengguyur kota-kota yang dialiri oleh daerah aliran sungai (DAS) ciliwung. Salah satu muara ciliwung berakhir di laut utara Jakarta. Dan tak dapat dielakkan banjir pasti terjadi, sampai ada anekdot tentang jakarta “bila di pancoran air sudah sampai mata kaki, Jakarta pasti tenggelam”, memang benar karena ternyata mata kaki yang dimaksu adalah mata kaki patung tugu Pancoran.
Diperkirakan lebih dari 80 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) berada dalam kondisi kritis akibat kegiatan eksploitasi hutan maupun pertambangan mineral dan migas. Kehancuran ini akan berdampak serius pada terjadinya krisis air yang sesungguhnya di Indonesia. Kawasan konservasi hutan Mangrove atau hutan bakau juga tidak luput dari kehancuran lingkungan berupa deforestasi sebesar 42 persen untuk taraf rusak berat dan 29 persen rusak. Diduga hanya sekitar 23 persen yang masih dalam kondisi baik dan 6 persen yang masih sangat baik. Indah menjelaskan, privatisasi SDA tidak akan membawa keuntungan bagi negara dan rakyat. Sebaliknya, bukan hanya kerugian ekonomi yang ditimbulkan, tetapi juga kerusakan ekologi.