Undang-undang Kehutanan (UU No.41/1999) menjadi acuan bagi pengaturan dan pelaksanaan kehutanan. Pelaksanaan kehutanan mencakup tiga aspek utama yaitu sistem pengurusan, kawasan dan hasil hutan.
Pelaksanaan kehutanan (teori dan praktik) akhir-akhir ini memasuki tahap dekonsentrasi penguasaan hutan dan kawasan hutan. Kawasan hutan yang meliputi 70% daratan Indonesia saat ini secara praktik (sebagai dampak otonomi daerah) sudah mengalami dekonsentrasi penguasaan dari Pemerintah Pusat ke Daerah dalam masa 10 tahun reformasi.
Pelimpahan wewenang atas pelaksanaan kehutanan dari Pusat ke Daerah tersebut secara substansi kehutanan (perencanaan, peruntukan, pemanfaatan, pelepasan, perijinan usaha kehutanan dan lain-lain) banyak mengalami ‘tarik-ulur’ akibat tidak ada terintegrasi kewenangan (konflik kewenangan) antarsektor.
Bagi sebagian besar pihak, kendala tersebut karena belum adanya internalisasi (baca: sosialisasi) tentang dekonsentrasi penguasaaan hutan dan kawasan hutan secara menyeluruh dari Pusat ke Daerah (gubernur/bupati).
Dekonsentrasi melalui HKm (Hutan Kemasyarakatan) dan Hutan Desa yang sudah berjalan tidak pernah mencapai target optimum. Capaian dari pelaksanaan dan penetapan areal kerja HKm dan Hutan Desa pada 2009 hanya mencapai 50.000 ha dari 400.000 ha yang ditargetkan Pemerintah (RLPS Kemenhut, 2010).
Konvensional ke Modern
Mengacu ke teori Simon (1998), pelaksanaan kehutanan melalui HKm dan Hutan Desa adalah pelaksanaan dari kehutanan modern (kehutanan sosial) dimana tujuan pelaksanaan kehutanan tidak lagi untuk pengambilan kayu semata (penambangan kayu dan perkebunan kayu-kehutanan konvensional), tetapi untuk tujuan keberlanjutan ekosistem hutan (sustainable forest management).
Kehutanan konvensional sudah sejak lama diterapkan di Indonesia. Bukti kegagalan terparah dari pelaksanaan kehutanan konvensional ini terjadi pada 1967 yang ditandai dengan ‘banjir kap’ (banjir kayu glodongan di sungai-sungai di Kalimantan) dan pada 1997 yang ditandai kebakaran hutan karena alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit dan maraknya illegal logging.
Dalam perkembangannya Teori Kehutanan Simon juga menjelaskan, kehutanan modern secara evolutif juga memasukkan penambangan kayu (timber extraction) dan perkebunan kayu (timber management) secara berkelanjutan dalam pelaksanaan kehutanan sosial. (HTR) Hutan Tanaman Rakyat sebagai salah satu program kehutanan Pemerintah untuk tujuan peningkatan ekonomi masyarakat miskin di sekitar hutan adalah perkebunan kayu.
Devolusi
Revisi Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 menjadi Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 bagi sebagian kelompok organisasi masyarakat sipil dan masyarakat lokal (adat) sebagai satu pereda ketegangan antara negara-rakyat (devolusi) berkenaan dengan pelaksanaan kehutanan di masa lalu yang banyak menuai kerusakan dan penyusutan hutan, konflik pengusaan dan pengelolaan hutan, dan konflik sumberdaya alam.
Walau sebagian besar masyarakat adat menolak Undang-Undang Kehutanan karena tidak ada substansi yang mengukuhkan ‘hak kepemilikan ulayat’ dalam kehutanan di Indonesia, devolusi terjadi di tingkat hak kelola masyarakat atas kawasan hutan. Pilihan-pilihan rakyat mengajukan hak kelola atas kawasan hutan melalui HKm, Hutan Desa, HTR dan Kemitraan (Peraturan Pemerintah No.3/2008) adalah pelaksanaan devolusi kehutanan.
Untuk saat ini (2010) Pemerintah menyediakan kawasan hutan seluas 500.000 ha untuk masyarakat pinggir hutan berpartisipasi dalam pelaksanaan devolusi kehutanan.
Semangat devolusi yang dibawa dalam pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan tahun 1999, melihat tidak mulusnya dekonsentrasi penguasaan hutan dan kawasan hutan dalam proses otonomi daerah dan pemahaman para pemangku kebijakan di daerah, dekonsentrasi berwajah devolusi. Termasuk gagasan memasukkan perkebunan sawit dalam kehutanan.