Belajar dari Nepal untuk Komuniti Forestri
Yam Malla, RECOFTC Bangkok mencatat bahwa 32 % Penduduk Nepal di beri kuasa penuh atas 1,5 Juta Ha (dari 147,181 km2)Lahannya untuk dimanfaatkan dalam bentuk komuniti forestri. Pemerintah Nepal hanya bersifat sebagai fasilitator saja, terbukti gerakan komuniti forestri Nepal ini menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara tersebut. Demikian sekilas penjelasan Yam Malla PhD dalam sebuah paparan berbagi pengalamannya di Pusdiklat Kehutanan, Bogor 12/8.
Gerakan komuniti forestri di nilai penting untuk menambah pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Beliau bahkan menyinggung segala macam inisiatif yang dilakukan masyarakat nepal dalam memanfaatkan lahannya, mulai dari penanaman di lahan ilalang sampai pemanfaatan tanah pekuburan. Hal ini dikuatkan juga dalam pengakuan pemerintahnya dalam memberikan hak atas lahan tanpa ada batas waktu bagi masyarakat dalam memanfaatkan lahan tersebut.
Keberhasilan Nepal ini tentu menjadi pelajaran berarti bagi Indonesia, dimana 10,5 juta dari 48,8 Juta penduduk Indonesia yang hidup di dalam dan sekitar hutan dengan kondisi dibawah kemiskinan (CIFOR, 2005), data lain menyebutkan 34,96 juta penduduk Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Yam Malla juga menyinggung bahwa bentuk program – program seperti Gerhan belum bisa menjadi jalan keluar terhadap upaya peningkatan ekonomi masyarakat hutan.
Sebuah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan, melihat target 2,1 juta ha yang dicadangkan pemerintah untuk tahun 2015, dan perkembangannya sekarang dari 400 ribu ha yang masuk dalam rencana penerapannya, baru 167.395,19 ha yang sudah ditetapkan tersebar sepanjang 25 kab di 11 provinsi. Pemberdayaan masyarakat hutan sebatas pada pemberian akses atas pengelolaan lahan dan peningkatan kapasitas.
Memang, masyarakat kini mempunyai peluang untuk mengelola hutan mereka dalam skema – skema yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 18 tahun 2009 jo Permenhut No. 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 49 tahun 2008 tentang Hutan Desa. Tapi lagi-lagi peraturan malah menjadi sandungan dalam penerapan di lapangan. Tarik ulur kewenangan pemerintah pusat dan daerah ditambah begitu rumitnya proses dalam pengakuan pengelolaan hutan oleh masyarakat masih menjadi isu klasik dalam implementasi kebijakan tersebut.
Peningkatan kapasitas dititik beratkan pada peningkatan pengetahuan dari para pelaku kehutanan di tingkatan pusat dan daerah dengan mengadopsi pengetahuan lokal masyarakat tentang pengelolaan hutan.
Diskusi multipihak yang melibatkan beberapa stakeholder kehutanan ini kemudian diharapkan menjadi pendorong percepatan pelaksanaan komuniti forestri Indonesia, sebuah jalan panjang yang berliku penuh tantangan dan hambatan. Tuntutan forest governance merupakan harga mati untuk mewujudkannya, dan komuniti forestri inilah yang kemudian dapat dijadikan proteksi bagi masyarakat terhadap segala ancaman terhadap ruang hidup mereka dari segala macam ekspansi seperti yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di kawasan rawa gambut. (Nino)