Pengusahaan hutan dan gambut untuk industri perkebunan sawit (dari hutan dan gambut konversi untuk sawit), hutan tanaman industri (diperluas melalui skema perhutanan sosial dengan hutan tanaman rakyat-HTR), dan pengurangan emisi dari deforestasi-degradasi hutan menjadi trend. Kurangnya pasokan kayu untuk pulp-kertas, peningkatan permintaan CPO (crude palm oil-minyak sawit) dunia, dan peningkatan pelepasan GRK (gas rumah kaca) dari deforestasi-degradasi hutan, adalah alasan-alasan dari tiga ragam pengusahaan hutan dan gambut tersebut.
Pernyataan Menteri Kementerian Kehutanan, Zulkifli Hasan dalam pembukaan acara UN-REDD Inception Workshop di Grand Melia Jakarta yang diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Kehutanan, FAO, UNEP dan UNDP (31/3), dimana Menteri Hasan menegaskan perlu langkah cepat untuk rehabilitasi, restorasi dan investasi di sektor hutan dan gambut kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim, tidak berseberangan dengan trend pengusahaan hutan dan gambut.
Namun yang perlu menjadi pertanyaan, apakah mungkin langkah rehabilitasi, restorasi dengan investasi adalah langkah yang sinergi-signifikan dalam pengusahaan hutan dan gambut? Tentu perlu diuji. Pengalaman masa lalu sebelum mitigasi perubahan iklim di sektor hutan dan gambut menjadi perbincangan serius, pengusahaan hutan dan gambut untuk perkebunan sawit, HPH/HTI, dan pertanian telah menyebabkan berbagai persoalan sosial dan lingkungan.
Persoalan-persoalan tersebut yaitu semakin meluaskan dan meruncingkan konflik antara perusahaan pemegang ijin HGU/HPH/HTI dengan masyarakat; pencemaran air, tanah dan udara oleh penggunaan pupuk, pertisida maupun limbah kimia dari pabrik pulp-kertas; penebangan liar dan salah lokasi penebangan; meningkatnya kekerasan terhadap masyarakat oleh aparat keamanan-perusahaan; dan lain-lain. Dan sementara itu, Dana Rehabilitasi (DR) tidak pernah membuktikan adanya pemulihan hutan dan gambut, bahkan ditengarai dana pemulihan ini mengendap di Departemen Keuangan (baca: tidak digunakan).
Pengalaman tersebut hingga kini belum pernah terpecahkan. Bahkan Kemenhut sendiri mengakui pembangunan kehutanan dalam periode sebelumnya memperlihatkan berkurangnya areal tutupan hutan. Kawasan hutan (gambut) yang berupa areal tutupan hutan (forest cover area) tersisa 49% berupa hutan-hutan primer (hutan-hutan di area terjal-pegunungan dan gambut-gambut dalam yang biasanya berstatus sebagai kawasan konservasi atau taman nasional).
Mitigasi Palsu
Via Koran Tempo (29/3), Meine van Noordwijk dari ICRAF menyebut mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) adalah konsep palsu. Salah satu alasannya, konsep REDD terlalu fokus kepada pendanaan (uang), sementara aspek keadilannya (sosial dan lingkungan) ditinggalkan.
Pendapat Meine tersebut adalah pukulan telak bagi pengusung mitos REDD (cara cepat, mudah dan murah) bagi upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia yang didengung-dengungkan pasca COP 13-UNFCCC di Bali. Apalagi dikaitkan dengan investasi perdagangan karbon dimana REDD akan cenderung menjadi skema offsets, negara-negara maju tidak perlu mengurangi emisinya dengan cara membeli jasa penyerapan karbon di negara-negara berkembang yang memiliki hutan dan gambut.
Kembali mengutip pernyataan Menteri Kemenhut Zulkifli Hasan dalam acara UN-REDD lalu, “..yang lebih penting bagaimana negara-negara maju cepat berinvestasi untuk perdagangan karbon di Indonesia”, tidak dapat dipungkiri Kemenhut memiliki semangat kuat menjadikan REDD sebagai model pengusahaan hutan dan gambut komersil berdasar mitigasi perubahan iklim.
Sementara banyak pihak melihat investasi di sektor hutan dan gambut tidak hanya untuk jasa serap karbon. Tetapi juga peningkatan investasi bagi industri-industri sebelumnya yang lebih menjanjikan yaitu hutan dan gambut untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (pulp-kertas), perkebunan sawit (untuk biofuel/bahan bakar nabati), dan energi listrik bahan bakar gambut. Kalau semua pihak meyakini industri-industri yang berbasis konversi hutan dan gambut adalah faktor utama terjadinya peningkatan emisi karbon, langkah dan semangat Kemenhut menjadikan REDD sebagai industri jasa kehutanan sangat bertolak belakang. Dan ini yang dimaksud dengan mitigasi palsu.
Dan adakah yang berani mengambil resiko tinggi menginvestasikan uangnya lewat REDD di Indonesia? Investasi di sektor hutan dan gambut sangat beresiko, karena investasi membutuhkan kepastian dan jaminan keamanan dalam operasinya. Konflik horizontal-vertikal, kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta ketidakadilan sosial masih menjadi bayang-bayang utama dari pengusahaan hutan dan gambut di Indonesia. Dan yang benar-benar berani siapa? World Bank cukup berani memberikan sokongan pendanaan untuk industri HTI (via IFC-International Finance Corporation) sekaligus mitigasi perubahan iklim (via Forest Carbon Partnership Facility).