6 Juni 2011, tepat ulang tahun Bung Karno yang ke 110. Bung Karno lahir di Surabaya. Berikut penggalan tulisan dari sebuah buku Biography:
BUNG KARNO Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (BIOGRAPHY AS TOLD TO CINDY ADAMS)
MALAM itu aku pergi ke rumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan yang pertama guna membicarakan taktik kami bekerja untuk masa yang akan datang. “Bung Hatta dan saya dimasa yang lalu telah mengalarni pertentangan yang mendalam,” kataku. “Memang di satu waktu kita tidak berbaik satu sama lain. Akan tetapi sekarang kita menghadapi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh salah seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada waktu sekarang kita satu. Dan kita bersatu di dalam perjuangan bersama.”
“Saya setuju,” Hatta menjatakan. Kami berjabat tangan dengan kesungguhan hati “inilah”, kataku berjanji, “janji kita sebagai Dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaan sepenuhnya.”
Bersama‐sama dengan Sjahrir, satu‐satunja orang yang turut hadir, rencana‐rencana gerakan untuk masa yang akan datang kami susun dengan cepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerja dengan dua cara. Di atas tanah secara terang‐terangan dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain.
“Untuk memperoleh konsesi‐konsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatan-jabatan pemerintahan bagi orang‐orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kollaborasi.” kataku.
“Jelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa,” Hatta menegaskan. “Jadi Bung Karno harus bekerja secara terang‐terangan.” ,,Betul, Bung Hatta membantu saya. Karena Bung
Hatta terlalu terkenal untuk bisa bekerja di bawahtanah.” “Biarlah saya,” Sjahrir menyarankan, “untuk mengadakan gerakan bawah tanah dan menyusun bagian penyadap berita dan gerakan rahasia lainnya.”
……………………………………………………………………
Kugariskan rencanaku kepada Hatta malam itu juga. “Dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik rakyat kita sebagai peyjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak hanya menerima perintah. Rakyat dipersiapkan menjadi kepala. kepala dan administrator‐administrator. Mereka dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu hari yang akan datang, pada waktu mana kita mengambil alih kekuasaan dan menyatakan kemerdekaan.
Kalau tidak begitu bagaimana mungkin kita melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil” Tanpa menunggu jawaban atas keterangan itu aku melanjutkan, “Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana‐mana Belanda….Belanda …… pendeknya setiap satu jabatan diduduki oleh si Belanda buruk!” ,,Dan rakyat kita cukup jadi pengantar surat saja atau pesuruh,” Hatta menambahkan, “Selalu dalam kedudukan menghambakan diri Selalu patuh.” Sekarang rakyat yang kurus kering, diinjak‐injak lagi bebal ini akan menjadi pejabatpejabat dalam pemerintahan. Mereka akan belajar membuat keputusan, mereka akan mempelajari bagaimana melancarkan tugas, mereka akan mempelajari bagaimana memberikan perintah. Saya sudah menanamkan bibitnya dan Jepang akan memupuknya.
Aku meludah ke tanah. “Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang cerdas membenci Belanda. Orang Belanda mengharapkan kerjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita yang menguntungkan dari kerjasama itu. Kalau saya mengingat‐ingat perangai Belanda yang munafik, saya mau muntah. Apakah yang dikerjakan Belanda untuk kita? Nol besar! Saya menyadari, tentu ada orang yang menentang saya, karena saya bekerjasama dengan Jepang. Tapi, apa salahnya? Memperalat apa yang sudah diletakkan di depan saya adalah taktik yang paling baik. Dan itulah sebabnya mengapa saya bersedia menerimanya.”
Bulan November Gerakan Tiga‐A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang jabatan resmiku dalam suatu badan baru yang bernama PUTERA. Tokyo menganggap “Pusat Tenaga Rakyat” ini sebagai alat dari Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakyat di garis belakang bagi kepentingan peperangan mereka. Tapi Sukarno mengartikannya sebagai alat yang nomor dua paling baik untuk melengkapkan suatu badan penggerak politik yang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitan‐kesulitan yang timbul di dalam negeri. Ambillah misalnya persoalan tekstil yang rumit. Oleh ketiadaan kain rakyat Marhaen memakai baju dari karung atau bagor. Anak‐anak yang baru lahir dibungkus dengan taplak meja. Aku pergi berkeliling menyampaikan seruan kepada rakyat desa. Kataku, “Di negeri kita tumbuh semacam tanaman yang bernama rosella. Seratnya bisa ‐ditenun menjadi kain. Hayo kita tanami rosella. Mari kita tenun kain dari rosella.”
Rakyat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakyat terpaksa mencari akal untuk menutupi kekurangan, mereka melakukannya. Akan tetapi sementara aku menjalankan gerakan itu, aku memilih patriot‐patriot yang dipercaya dan memperkerjakannya pada pembesar‐pembesar setempat. Kataku, “Pekerjaan ini akan lebih berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannya. Ini orangnya, jadikanlah dia sebagai kepala dari gerakan ini. Saya sendiri menjamin kesetiaannya.”
Kami tidak mempunyai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaya membuat sabun dari minyak kelapa dan abu daun kelapa yang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia yang berbuih jika dicampur dengan minyak. Kemudian kupilih salah seorang pengikutku yang paling dipercaya, Ialu kusampaikan kepada pejabat yang berhubungan dengan itu, “Saya mempunyai seorang kawan disini yang mengetahui bagaimana melakukannya. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan.”
Kami tidak punya listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, “Hayo kita tanam jarak. Tanaman ini mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bijinya kita dapat membuat minyak kastroli yang bisa menyala dengan terang.” Apa sebabnya aku mengetahui hal ini? Oleh karena aku orang Jawa. Oleh karena keluargaku melarat dan terpaksa memakainya. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku harus membakar biji jarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnya mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah yang diduduki itu. Hanya penduduk aslilah yang tahu, bagainiana memecahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat menduduki suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu ‐ini selalu‐ dimana saja ‐bilamana saja.
Kami tidak mempunyai obat‐obatan. “Pakailah obat asli peninggalan nenek moyang kita,” aku menganjurkan. “Untuk penyakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari alang‐alang.” Rakyat Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan‐penemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan yang paling rumit untuk diatasi. Tentara Jepang merampas setiap butir beras. Kalau bukan orang penting jangan diharap akan memperolehnya sekalipun satu kilo. Di Bali orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sejumlah besar biji pepaya dan membagikannya kepada setiap orang masing‐masing dua butir. Buah‐buahan yang enak ini kemudian tumbuh di setiap penjuru pulau.
Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Jepang membuat jaringan radio yang tetap dengan menempatkan pengeras suara di setiap desa, sehingga setiap orang yang sebelum itu hanya mendengar nama Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. “Saudara‐saudara kaum wanita,” terdengar suara Sukarno mendengung melalui tiap pengeras suara, “Dalam waktu saudara yang terluang, kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan saya sendiri. Tanamlah jagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya cukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara.” Nah, karena Sukarno yang mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnya. Dan di setiap halaman bertunaslah buah jagung. Usaha ini ada ketolongannya.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebencian rakyat terhadap orang Jepang, karena kekurangan makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidato‐pidato seperti ini. “Agen‐agen musuh membisikkan di telinga saudara, bahwa Dai Nippon yang menjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulan‐bulan yang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negara‐negara Sekutupun menderita kemelaratan dan setiap hari rakyat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Jika mereka mengatakan ‘Tidak’ itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara‐saudara percaya kepada berita bohong ini, maka saudara sama saja seperti katak di bawah tempurung.
Bertahun‐tahun yang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di Inggris. Jadi, saudara‐saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana‐mana.
“Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muangthai. Akan tetapi kapal‐kapal pengangkut itu sudah ditenggelamkan ke dasar laut. Kekurangan makanan adalah kejadian yang biasa dalam peperangan. Akan tetapi siapakah yang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini?
Belanda. Bukan Dai Nippon Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merubah sawah‐sawah kita menjadi kebun tebu, tembakau atau hasil lain uang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinya sendiri. Maka dari itu, sampai di hari kita berdiri sendiri bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor beras.”
……………………………………………………………………
Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran: “Ada masa‐masa dimana kesukaranmu sangat berguna dan perlu.”
……………………………………………………………………
Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Secelah kecil cahaya selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap. Segera setelah aku mematikannya, terdengarlah suara orang menggedor‐gedor pintu dengan keras. Dengan cepat Inggit menjawabnya dan ia berhadapan dengan sekelompok Polisi Militer.
“Ada apa?” tanya Inggit gemetar. Kaptennya menggeram, “Siapa yang punya rumah ini?” ,,Saya,” jawab Inggit. ,,Tidak,” teriaknya, “Kami maksud tuan rumah. Siapa suami nyonya?”
Aku sedang berada jauh di dalam, akan tetapi aku keluar juga Kapten itu membentak‐bentak kepadaku karena cahaya lampu yang sedetik itu, kemudian tangannya melayang plang …. plang ….. plang ….plang, kemplangannya dengan cepat melekat di mukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan menjerit, “Aduh …. Aduh…. jangan tampar dia. Saya yang harus bertanggung jawab. Itu bukan salahnya. Oooo, ma’afkanlah dia. Saya yang lalai …… !”
Orang‐orang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku pecah‐pecah. Dari bibir dan hidungku banyak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengucapkan sepatah kata. Aku tidak bertahan untuk diriku sendiri. Aku hanya menahankannya dengan tenang sambil berkata kepada diriku sendiri, “Sukarno, kesakitan yang kaurasakan sekarang hanyalah merupakan kerikil di jalan raya menuju kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah engkau kembali dan terus berjalan.”
……………………………………………………………………
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato di hadapan rakyat. Sambutan rakyat lembek. Aku menterjemahkannya dengan semangat yang berkobar‐kobar dan dengan memberikan beberapa putar balik kata‐kata gaya Sukarno. Rakyatku jadi gila karenanya. Pada setiap ucapan mereka bersorak dan berteriak dan bertepuk. Hal ini membangkitkan kecurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan ke markasnya, dimana aku dibentak, disenggak dan diancam. Aku merasa yakin dalam diriku, bahwa aku akan digantung. Tapi untunglah. Seorang juru bahasa yang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku. Akan tetapi orang ini setia kepadaku dan dia menjamin ucapan‐ucapanku. Kemudian setelah mengalami detik‐detik yang menakutkan selama berjam‐jam aku dibebaskan kembali.
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwira‐perwira Jepang atau menelitiku secara diam‐diam. Seringkali Kenpeitai datang di waktu yang tidak tertentu. Aku harus menjaga diriku setiap saat. Orang Jepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempercayaiku sepenuhnya. Kaki tangan kami dalam gerakan bawah tanah mengabarkan, bahwa ada rencana Jepang untuk membunuh semua pemimpin bangsa Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Jepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil hati rakyat untuk kepentingan mereka. Akan tetapi di saat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang pula. Aku senantiasa dalam bahaya.
Berbahaya atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan bawah tanah. Kadang kadang jauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah menutup pintunya, aku mengadakan pembicaraan di klinik Dr. Suharto. Adakalanya aku mengadakan kontak dengan seorang penghubung di luar tempat terbuka secara beramah‐tamah, kelihatan tersenum seolah‐olah kami berbicara dengan senang. Kemudian di hari berikutnya secara berbisik‐bisik tersebarlah instruksi kepada anggota‐anggota bawah tanah, “Ini boleh kita kerjakan …. ini tidak.” Perintah‐perintah ini datangnya dariku. Aku sendirilah yang memiliki fakta‐fakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi ke kedua jurusan. Akan tetapi Jepang mempunyai cara‐cara untuk melemahkan semangat seseorang.
Orang yang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuan‐perempuan ditarik dari rumahnya dan diangkut dengan kapal, katanya ke “tempat pendidikan”, tapi kemudian mereka dijerumuskan ke dalam rumah perzinaan. Laki‐laki dan perempuan yang tidak membungkukkan badan pada waktu melewati seorang penjaga di jalanan mendapat tamparan. Dari cara hukuman yang demikian karena kesalahan kecil‐kecil dapatlah orang membayangkan, bagaimana hukuman yang harus dihadapi oleh orang‐orang yang kedapatan bergerak di bawah tanah. Dan kenyataan ini memaksa orang untuk bertindak hati‐hati sekali.
Cucunguk ada di mana‐mana. Dengan menyamar sebagai tukang sate mereka berjalan sepanjang waktu, sambil mendengar‐dengarkan suara titit ….. titit dari radio, yang berarti bahwa ada seseorang yang sedang menerima ‘atau mengirim berita.
……………………………………………………………………
Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan bawah tanah, selama berminggu‐minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinya ke atas. Dia disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan, “Bebaskan dia atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya.” Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguhsungguh diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti lidi. Orang tidak dapat percaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa.
Aku telah banyak menyelesaikan persoalan‐persoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur jauh di dalam hatiku. Tidaklah kusorak‐sorakkan jasa yang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap rumah, betapapun juga banyaknya. Selama hidupku aku telah menjalankan amal jariah kepada semua manusia, apabila aku sanggup melakukannya. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah yang penting bagiku.
……………………………………………………………………