K.P. SHK

Bumi Minangkabau & Hutan Adat (2)

Oleh : Salpayanri (Dubalang Adat)*

Bagian -2

Hutan Versi Adat Alam Minangkabau

IMG_1466

Fungsi hutan di Minangkabau harus dikelola dengan baik, agar fungsi dan artinya bermanfaat untuk semua umat di muka bumi ini. Hutan yang berada di atas Ulayat Penghulu di Nagari merupakan sumber penghasilan penghulu ataupun nagari.

Sumber penghasilan itu macam-macam bentuknya mulai dari tangkuak kayu, bungo kayu. Pancuang Tangkuak adalah biaya izin untuk  membuka hutan. Pancuang aleh ialah biaya yang dipungut berdasarkan hasil hutan seperti damar, rotan dan madu lebah, sarang burung walet dan sebagainya.

Bungo kayu, yaitu biaya yang ditarik dari sejumlah kayu yang ditebang untuk diperdagangkan, biasanya dipungut 10% dari jumlah kayu yang diambil, sedangkan untuk kayu sebatas untuk perumahan warga tidak dipungut biaya.

Petugas pemungut bea ulayat Menurut Adat Minangkabau disebut “padang nan bajaringan, rimbo nan bapacet”. Jaring dan Pacet ialah  nama jabatan yang memungut hasil ulayat dan diberi komisi 10% dari seluruh hasil pungutan, yang mengangkat jabatan Jariang dan Pacet ini ialah Penghulu di Nagari atas hasil musyawarah-mufakat.

Jariangan dan Pacet adalah perangkat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat penting, salah satu perangkat adat adalah Dubalang Adat, yang ditetapkan oleh Penghulu di Nagari.

Robert Tim Ekspedisi Penulisan Profil SHK Bukit Parambo. Foto KpSHK. Solok Selatan

Petugas kehutanan yang disebut menurut adat Jariang dan Pacet tugas pokok nya adalah menjaga rimba dan hutan sepanjang masa, mencatat hasil hutan dan rimba yang masuk dan yang keluar, memungut hasil hutan dan rimba dari pengambil hasil hutan, melaporkan kepada penghulu bagi yang melanggar ketentuan adat dalam memanfaatkan hasil hutan.

 

Hak-hak Penghulu menurut Adat :

Objek

Ketentuan Adat

Pemanfaat

Bunga ulayat hak penghulu

Tanah   Aia nan buliah diminum, buah nan dapek dimakan, nan batang tatap tingga Investor, pemerintah, anak nagari 10 takar tarek ciek (10%)
Sawah Ka sawah babungo ampiang Anak kemanakan 10 sukek tariak ciek (10%)
Sungai Ka sungai babungo pasie Penambang luar, anak nagari 10 kubik tariak ciek (10%)
Tambang Ka tambang babungo ameh Penambang luar, anak nagari 10 ameh tariak ciek (10%)
Lauik Ka lauik babungo karang Pelaut, anak nagari 10 ikan tariak ciek (10%)
Ngalau Ka guo babungo ngalau Pewalet, anak nagari 10 kilo tariak ciek (10%)

 

Hutan Adat Versi Aturan Pemerintah

Hutan Adat adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Artinya hutan merupakan bagian dari wilayah masyarakat hukum adat, sehingga pengakuan hutan adat merupakan pengakuan atas wilayah  masyarakat hukum adat secara umum.

Putusan MK No.35/PUU- X /2012, didasarkan pada pasal 18B UUD 1945 yang menyatakan “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatua RI yang diatur dalam UU”.

Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Th.1960 pasal 3 menjadi pasal utama yang mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adat mereka. Pasal 67 ayat 2 UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa pengukuhan masyarakat adat dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah.

Sumatera Barat memiliki 2 PERDA yang mengakui keberadaan masayarakat hukum adat, yakni Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No. 2 Th.2007 tentang Pemerintahan Nagari dan Peraturan Daerah No.6 Th.2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.

Salpayanri (Direktur ICS) menjelaskan kepada KpSHK tantangan untuk menghidupkan kembali Hutan Adat di Sumatera Barat, dalam pengalaman ICS mendorong Hutan Adat di Kabupaten Solok Selatan, beberapa persoalan yang ditemui dilapangan antara lain :

  1. Terjadinya tumpang tindih wilayah atau kawasan hutan di setiap Nagari sehingga mereka (Masyarakat Adat dan Dishutbun) saling mengklaim, masyarakat adat mengklaim wilayah Adat atau Hutan Ulayat semetara pemerintah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengklaim Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi dll,
  2. Belum tersosialisasinya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012,
  3. Hutan Adat atau Ulayat belum termuat di RTRW,
  4. Belum lahir regulasi ditingkat kabupaten tentang Hutan Adat atau Ulayat,
  5. Kepedulian dan partisipasi dari Penghulu atau Niniak Mamak yang masih minim dan mereka tidak kompak,
  6. Aturan adat dan  kearifan lokal komunitas adat tidak terdokumentasikan dengan baik,
  7. Perhatian dari Pemerintahan Nagari masih minim, terbukti setiapkali undangan pertemuan dan diskusi tentang Hutan Adat atau Ulayat mereka tidak pernah hadir.

Ilustrasi Sumber Daya Air.KpSHK

Demikian jelas Dubalang Adat kepada KpSHK dalam FGD Profil Hutan Adat Bukit Parambo, yang diselenggarakan ICS bekerjasama dengan KpSHK, Januari 16-2015, di Kantor Nagari Lubuk Gadang Utara, Solok Selatan. #inal#

Leave a Reply

Lihat post lainnya