K.P. SHK

Buka Keran Ekspor Rotan

Julius Hoesan dari Dewan Pimpinan Pusat APRI (Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesiaa) menuturkan kepada KpSHK, bahwa rencana dalam waktu dekat ini akan dilakukan pembahasan Permendag 36/2009 tentang Ketentuan Ekspor rotan, yang akan berakhir masa berlakunya pada 11 Agustus 2011 ini.

Pihak Kememterian Perindustrian (Menperin beserta jajarannya) ngotot agar Permendag 36/2009 tersebut direvisi menjadi “larangan ekspor rotan olahan”, sedangkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tetap mempertahankan ekspor rotan.

Asosiasi Rotan (APRI dan ASMINDO) mendukung Kemendag & Kemenhut membuka ekspor rotan, bahkan meminta agar ekspor rotan olahan diperluas dan dipermudah karena penyerapan oleh industri dalam negeri sudah semakin menurun yang disebabkan oleh beralihnya industri mebel rotan (di  pulau Jawa) ke pemakaian rotan sintetis/imitasi (plastik & aluminium).

Jika terjadi pelarangan ekspor rotan olahan, maka selain akan menghancurkan kehidupan para petani/pengumpul rotan (relatif miskin) didaerah penghasil rotan luar Jawa dan pengusaha daerah, juga akan menghancurkan NILAI EKONOMIS komoditi kebanggaan kita ini dimana 85% populasi rotan dunia berada di hutan Indonesia.

Kebijakan tataniaga rotan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.36/2009 yang sudah berjalan dua tahun ini telah memberi proteksi yang luar biasa kepada industri mebel rotan (sektor hilir) yang berpusat di pulau Jawa, sebaliknya telah menyengsarakan juta-an masyarakat petani, pengumpul dan pekerja/pengusaha di luar pulau Jawa (sektor hulu), bahkan sudah menghancurkan nilai komoditi rotan alam Indonesia akibat beralihnya ke pemakaian rotan sintetis/imitasi.

Selama industri mebel dalam negeri belum dapat menyerap produksi rotan olahan ini, perlu kita memperjuangkan agar ekspor rotan tetap bisa dilakukan. Selain itu perlu pula diusahakan penghapusan beberapa ketentuan/pasal  dalam Permendag No.36/2009 yang menghambat, antara lain  :

  1. Ketentuan wajib pasok dalam negeri untuk mendapatkan quota ekspor agar ditiadakan, karena permintaan oleh industri mebel rotan di pulau Jawa sudah sangat  menurun akibat beralihnya mereka ke penggunaan rotan imitasi (artinya ada wajib pasok tetapi tidak diberlakukan adanya wajib pakai kepada industri dalam negeri).
  2. Ekspor rotan alam (Sulawesi/Kalimantan/Sumatera/Maluku dll) tidak terbatas pada hanya rotan poles, hati rotan dan kulit rotan, karena ada puluhan jenis rotan Sulawesi/Sumatera/Kalimantan yang tidak tepat dan tidak dapat diproses menjadi rotan poles, hati dan kulit rotan, sehingga jenis-jenis rotan tersebut kehilangan nilai ekonomis karena selain tidak dipergunakan oleh industri dalam negeri juga tidak dapat diekspor karena tidak bisa diproses menjadi rotan poles, hati & kulit rotan.
  3. Ekspor rotan tidak dibatasi harus dari daerah penghasil, tetapi harus bisa dilakukan dari pelabuhan mana saja di Indonesia (termasuk pulau Jawa). Hal ini dengan pertimbangan banyaknya daerah penghasil yang tidak memiliki sarana ekspor maupun sarana penunjang lainnya (seperti Maluku Utara, NTB, Kutai Timur, Luwuk, Banggai, Morowali, Muna, Buton, Buol dll), yang mana para pengumpul lebih mudah/murah mengirim rotannya ke pulau Jawa dibanding ke ibukota propinsi nya. Akibat dari aturan dalam Permendag 36/2009 ini telah menghentikan kegiatan pengumpul/pengusaha rotan asalan di daerah tersebut.

Besar harapan kami kiranya KpSHK bisa meneruskan kepada pihak-pihak yang dapat membantu perjuangan kepentingan masyarakat di sektor hulu, termasuk wakil-wakil rakyat dari daerah penghasil, dalam mempertahankan nilai ekonomis komoditas rotan yang 85% populasinya berada di Indonesia sehingga bermanfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan rotan atau pedalaman serta pengusaha/pengumpul di daerah penghasil.

Leave a Reply

Lihat post lainnya