K.P. SHK

Berebut Gambut Pekatkan Racun

Trend pembangunan berkelanjutan ke arah restorasi sumberdaya alam dan lingkungan. Kemudian semua orang membicarakan dan mengupayakan pembangunan yang harus disertai pemulihan lingkungan. Yang ikut trend ini termasuk penentu kebijakan di sektor sumberdaya alam yang dulu melakukan operasi pembangunan dengan konsep “babat dan keruk habis”.

Harian Kompas (14/4) menurunkan berita tentang adanya komitmen Kemenhut (Kementerian Kehutanan) via Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan untuk tidak melakukan pembukaan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baru di rawa gambut. Alasan utamanya, Kemenhut membenarkan dugaan kalangan internasional bahwa rawa gambut Indonesia adalah sumber emisi karbon terbesar dunia –walau Kementerian Lingkungan Hidup belum tentu sepakat dengan ini, karena KLH masih mempermasalahkan soal data dasar yang digunakan.

PLG Gagal

Bicara peruntukkan dan pemanfaatan ekosistem rawa gambut, dari aspek keberhasilan pembangunan, banyak orang kemudian menyalahkan dan memberikan ‘cap gagal’ kepada proyek-proyek pembangunan sebelumnya. Semisal Proyek Lahan Gambut se-Juta Hektar (PLG), semua orang menyebut PLG gagal (tidak menutup kemungkinan proyek pertanian pangan di rawa gambut Papua juga akan mengalami hal sama di kemudian hari). Kegagalan PLG ini sangat beragam indikatornya bergantung kepada sudut pandang kelompok kepentingan. PLG menyebabkan kebakaran rawa gambut tahunan, memicu alih fungsi dan pemanfaatan lahan, dan memicu peningkatan konflik sosial, dan lain-lain.

Cap gagal bagi PLG dikaitkan dengan potensi ekosistem rawa gambutnya sebagai areal penurunan emisi karbon diokasida 26% hingga 2020 untuk Indonesia (dari sektor hutan-gambut) sesuai janji Presiden SBY kepada dunia internasional, restorasi rawa gambut menjadi semacam ‘penebusan dosa’ pembangunan. Walau hal ini mengandung kamuflase bila mengacu kepada target penurunan emisi hingga 41% hingga 2020, mitigasi perubahan iklim diarahkan ke soal peluang bantuan pendanaan dari luar. Kawasan PLG pun kemudian dijamah dan jadi perebutan para pihak untuk mendapatkan pendanaan mitigasi perubahan iklim melalui Reducing Emission from Deforestation and Degradation-REDD (+, ++) dan perdagangan karbon.

Areal dengan luas tidak kurang dari 1,5 juta hektar di Kalimantan Tengah tersebut secara beramai-ramai diukur kandungan dan daya serap karbonnya baik dengan pendekatan teknis maupun politis. Areal yang masih berstatus kawasan hutan negara itu layaknya areal ‘penambangan jasa lingkungan’ untuk mitigasi perubahan iklim. Dari 20-an proyek ujicoba mitigasi perubahan iklim, 4 di antaranya berada di Kalimantan Tengah. Sebagai proyek ujicoba tentu masih belum disebut sebagai cara tepat untuk pengurangan pelepasan emisi.

Pekatkan Racun

Cara mudah mengembalikan fungsi hidrologis gambut di beberapa proyek ujicoba mitigasi perubahan iklim di ekosistem gambut-PLG, yang sedang dipromosikan adalah dengan cara menambat kanal. Penambatan kanal-kanal PLG untuk mencegah pengeringan gambut yang secara alamiah, kondisi bawah permukaannya harus berair atau basah.

Cara tersebut juga tidak mudah untuk disebut sebagai cara tepat untuk pemulihan ekologi atau lingkungan di eksosistem rawa gambut PLG. Semua orang sangat mengetahui, akhir-akhir ini pengembangan perkebunan sawit di rawa gambut PLG membuncah, ini dipicu oleh Indonesia sebagai penghasil CPO nomor satu dunia dan munculnya kebijakan baru tentang budidaya kelapa sawit di rawa gambut. Pemeliharaan kebun sawit hingga usia mati berbuah (25 tahun) sarat dengan penggunaan pupuk dan pestisida. Tidak mungkin tidak, menambat kanal PLG justru menambah kepekatan racun (senyawa-senyawa karbon, sulfat dan nitrogen) dalam air gambut.

Lalu, semua kesimpang-siuran, tarik-menarik wacana hutan-gambut dengan perubahan iklim tersebut seolah-olah memperkuat pertanda ‘orang berebut gambut’ dengan menihilkan persoalan-persoalan sosial. Adakah mitigasi perubahan iklim dari sektor hutan-gambut peka pada perbaikan kondisi sosial-budaya orang rawa gambut? Ini yang membutuhkan perhatian (utamanya) Pemerintah, kemauan baik pemerintah. Karena dampak pembangun justru lebih tampak kesoal penurunan kualitas kehidupan sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya