Mencari Dasar Keilmuan Ekosistem Rawa Gambut
Pemanfaatan Gambut selalu dikaitkan dengan degradasi lahan
Pada kenyataannya memang tidak ada yang menyangkal bahwa lahan gambut identik dengan kawasan yang miskin hara sehingga banyak juga yang menyebutnya sebagai “lahan terlantar”. Belum ada standar untuk dapat menentukan degradasi lahan yang pasti di gambut. Hatano, Inuoe, Darung dan Limin menyebutkan bahwa 70% dari gambut tak berhutan merupakan “waste land”[1].
[1] Ryusuke Hatano and Takashi Inoue, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University,Untung Darung and Suwido Limin CIMTROP, University of Parangka Raya : CO2 and N2O emission associated with tropical peatland degradation. Makalah Presentasi dalam “Bogor Symposium and Workshop on Tropical Peatland”. Bogor 14 Juli 2009
Bagaimana dengan pemanfaatan hasil alam yang “wise use”. Pengambilan “Purun” untuk bahan kerajinan dan pertanian “Sonor” yang dilakukan dengan pola membaca kondisi alam secara makro tidak memberikan manfaat. Apakah pola penerapan pengetahuan lokal untuk kebutuhan skala kecil juga dapat dikategorikan sebagai penyebab degradasi lahan pada kawasan gambut? Bila sistem pemanfaatan dengan pola lokal diatas masuk ke dalam 30%, tetapi tidak ada penjelasan lebih mendalam tentang hal tersebut.
Namun bila dilihat dari bagaimana pola-pola pemenuhan kebutuhan (mengambil dan menanam sesuai dengan kebutuhan) berbanding pola-pola pemenuhan keinginan adalah dua hal yang berbeda. Belajar dari pengalaman “Proyek lahan gambut gambut sejuta hektar (PLG atau Mega Rice Project) bisa terlihat bahwa pemanfaatan gambut khususnya dan semua sumber daya alam harus dilakukan secara bijak.
Kubah Bagian Terpenting Konservasi Gambut
Keberadaan kubah gambut sebagai core dari kawasan gambut selalu menjadi perhatian utama, pandangan ini bisa menimbulkan interpretasi yang keliru sehingga berimplikasi bahwa kawasan gambut yang tidak memiliki kubah gambut bisa untuk dijadikan lahan produksi.
Padahal ada atau tidaknya kubah gambut dalam suatu kawasan ekosistem gambut sama berartinya, karena sama-sama memiliki resiko tinggi bila terjadi penyusutan tinggi air kawasan yang mengakibatkan resiko bahaya kebakaran dan pelepasan emisi karbon dan polusi udara. Dengan atau tanpa kubah gambut, ekosistem gambut juga bermanfaat sebagai pengatur iklim mikro selain juga menjadi habitat bagi beberapa spesies tumbuhan dan satwa (orang utan, harimau sumatra, owa tangan putih dan beberapa jenis burung air) yang dilindungi.
Gambut Kedalaman < 3 meter Dapat Dibudayakan [2]
Peribahasa “akibat nila setitik rusak susu se-belanga” bisa dijadikan analogi tepat untuk pemanfaatan gambut skala besar ataupun sebagian besar bisa berakibat bagi lingkungan disekitarnya. 4,5 juta Ha (Soekardi & Hidayat ,1988) atau 9,4 Juta Ha (Driessen, 1978) sampai 7,204 juta Ha (WI-IP, 2001), Kawasan gambut di pesisir timur sumatera merupakan hamparan gambut luas, terlihat secara kurun waktu tersebut beberapa kali mengalami perubahan luas kawasan. Sebagian kawasan gambut tersebut dijadikan kawasan konservasi (Taman Nasional Berbak est. 1992) [3], bukan berarti kawasan disekitarnya yang memiliki kedalaman gambut < 3 meter bisa dimanfaatkan karena pastinya fungsi hidrologi yang ada akan saling berhubungan. Pengaturan kedalaman air diluar kawasan juga akan berpengaruh terhadap kawasan sekitarnya.
[2] Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan/Pl.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit
[3] Taman Nasional Berbak ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Taman Nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK No. 285/Kpts-II/1992 dengan luas kawasan 162,700 ha. Pada tahun yang sama juga ditetapkan sebagai kawasan “ramsar site” sesuai kesepakatan Konvensi Ramsar site.
Pemanfaatan dengan sistem tanaman monokultur berskala besar (kelapa sawit dan hutan tanaman) pada kawasan gambut secara secara ekonomi memakan biaya yang lebih tinggi dibanding dilakukan pada dataran bukan gambut. bila ada pilihan, hal yang paling logis adalah mengupayakan bukan dikawasan gambut.
Gambut dan Kebijakan
Kewenangan pengelolaan kawasan gambut didasarkan atas peruntukkan kawasan (Land Use) sangat menentukan bagi sistem pemanfaatannya. Sehingga penentuan Land Use Change (perubahan peruntukkan lahan) juga akan berpengaruh terhadap kelestarian keseluruhan kawasan gambut. Gambut dan pasang surut bisa disebut sebagai ekosistem yang valuable (bernilai tinggi) [4] tetapi juga sekaligus vulnerable (rentan). Seringkali dasar justifikasi dan alasan yang dipakai oleh pengelola kawasan (perusahaan, pemerintah daerah) dikaitkan dengan peruntukkan lahan.
[4] Sutrisno Sukimin, “Community Structure Of Aquatic Biota In The Peatland”: Makalah Presentasi dalam “Bogor Symposium and Workshop on Tropical Peatland”. Bogor 14 Juli 2009
Kebijakan pengelolaan kawasan gambut secara mendasar juga harus dititik beratkan kepada kesesuaian lahan. Hal ini juga yang akan dijadikan acuan setiap bentuk pengelolaan atas Sumber daya alam dalam kawasan ekosistem gambut. Sejauh ini juga kewenangan atas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem gambut menjadi terik menarik antar beberapa sektor (kehutanan, pertanian dan lingkungan hidup). Sudah saatnya untuk menentukan sebuah kebijakan yang terintegrasi untuk dapat mewadahi setiap sektor tersebut.
Sistem Edukasi Sebagai Logical False dalam Manajemen Ekosistem Gambut
Dari beberapa kesesatan berpikir diatas, ada sebuah pendekatan yang dianggap shahih dan dapat dijadikan pijakan yang netral adalah pendekatan ke-ilmu-an (scientific approaches).
Kemurnian pengetahuan akan memicu konklusi-konklusi atas informasi didalamnya yang juga memiliki fleksibilitas tertinggi dalam implementasinya. Pengetahuan ini kemudian dapat dijadikan dasar pemikiran bagi setiap penentu dan pemanfaatan kaasan ekosistem gambut dengan harapan menjadi model pengelolaan ekosistem yang sustainable dan wise-use.
Harapan ini yang kemudian coba digagas oleh beberapa institusi pendidikan tinggi dalam sebuah wadah IFES-GCOE [5] sebagai sebuah sinergitas yang akan melahirkan pemikiran-pemikiran keilmuan.
[5] IFES -GCOE: Integrated Field Environmental Science- Global Center of Excellence merupakan wadah untuk mengembangkan “Bidang Ilmu Lingkungan Terpadu (IFES)”, bidang keilmuan dengan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu yang dapat berkontribusi dalam Ilmu Sistem Bumi (EES) kerjasama antara IPB, Universitas Riau, Universitas Palangkaraya dengan Hokkaido University