“Sebenarnya nelayan kerja mati-matian, tapi tetap miskin! Kami tidak mau dikatan malas. Renungan saya , hampir semua pulau telah saya singgahi, tetapi nelayan tetap miskin! Saya nelayan yang bodoh, tapi apakah yang di atas (Pemerintah -red) juga bodoh? Padahal Indonesia kaya sumberdaya alam.” (Sopuan 66 tahun, nelayan Semarang, Maret 2003)
Rezim Kemiskinan
Negara miskin adalah sebutan bagi negara yang mayoritas penduduknya miskin. Indonesia tergolong negara miskin. Sekalipun, kekayaan alam Indonesia sangat melimpah ruah.
Kesalahan terbesar terjadinya kemiskinan Indonesia justru diakibatkan ketidakbecusan rezim pemerintahan mengatur kekayaan alam yang berada di darat, laut, udara dan dalam perut bumi untuk kepentingan warga negara. Bad governance menimbulkan kemiskinan struktural yang berkepanjangan.
Pembangunan di segala bidang sebagai jalan memperbaiki kehidupan warga Indonesia untuk sejajar dengan warga dunia lainnya sudah dimulai sejak pergantian pemerintahan di tahun 1960-an. Presiden Soeharto (1967-1998) telah menerapkan pembangunan berbasis eksploitasi kekayaan alam secara besar-besar. Pembangunan berjalan demi pelunasan utang luar negeri –Pemerintahan Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebesar 2 milyar dollar Amerika di tahun 1966.
Pergantian rezim pemerintahan tidak jua memperbaiki kondisi kesejahteraan warga negara. Perilaku buruk para administratur negara (Pemerintah) semakin kentara. Kolusi, korupsi, dan nepotisme dari rezim ke rezim tetap berlangsung. Korupsi atas dana pembangunan asal hutang dan hasil-hasilnya telah menyebabkan hutang Indonesia per sepuluh tahun semakin bertambah, saat ini sudah mencapai 150 milyar dollar Amerika.
Saat ekonomi dunia menilai kemiskinan warga dunia dengan daya konsumsi senilai 20 dollar Amerika per hari per orang, 48,8 % penduduk Indonesia terkategori miskin (World Bank, 2005) –BPS melalui survey dengan penghitungan sampling, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30% pada tahun yang sama, sementara dengan menggunakan index kemiskinan dunia, Suharto (2006) menyebutkan 60% penduduk Indonesia miskin.
Miskin di Hutan dan Laut
Jauh sebelum masa penjajahan, di kawasan Nusantara sebagian besar masyarakatnya mengandalkan penghidupan dari sumber kekayaan alam di daratan dan lautan, sehingga saat lahirnya negara baru pasca kolonial, Indonesia menikberatkan pengelolaan kekayaan alamnya kepada kekuatan agraris dan maritim (ekonomi, politik, sosial dan budaya). Indonesia yang agrasis sekaligus maritim berlangsung hingga sekarang.
Kejayaan Indonesia sebagai negara agraris sekaligus maritim tidak pernah dibuktikan secara sungguh-sungguh oleh rezim pemerintahan dari jaman ke jaman. Pembangunan agraria dan maritim tidak ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar masih hidup mengandalkan pertanian, kehutanan dan perikanan darat-laut. Kaum tani dan nelayan sebagai tulang punggung negara agraris dan maritim menjadi kaum pekerja di sektor agraria dan maritim, karena tidak ada jaminan hak dan akses atas agraria dan maritim. Kebijakan agraria (termasuk kehutanan) dan maritim hampir 40 tahun hanya memberikan peluang seluas-luasnya bagi pengembangan industri berbasis sumberdaya alam. Revolusi Hijau dan Revolusi Biru hanya sekedar jargon pemerintah yang semakin memiskinkan warga negara kelas bawah.
Petani menjadi miskin di hutan. Luas kawasan berhutan Indonesia hampir mencapai 143 juta hektar, akibat pengelolaan dan pemberian ijin pembukaan hutan bagi industri kehutanan dan pertambangan. Petani hutan yang terkelompok dalam komunitas-komunitas adat dan lokal tidak berdaya, sedari penerapan Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967, mereka tidak dijamin untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan, padahal kehidupan keseharian mereka semisal memanfaatkan hutan sebagai sumber kayu bakar, tanaman obat, madu, buah-buahan, padi dan lain-lain sangat bergantung langsung dengan hutan.
Kebijakan yang mengatur kepentingan petani hutan dalam sejarah kehutanan Indonesia tidak pernah diluncurkan. Masyarakat petani hutan di Padang Cermin, Lampung Selatan, sejak mereka mengusulkan kawasan Gunung Betung untuk menjadi kawasan pengelolaan masyarakat selalu mendapat penolakan sedari tahun 1980-an oleh pemerintah daerah maupun pusat (Departemen Kehutanan RI).
Di Pulau Jawa, seorang petani hutan memiliki lahan hanya 0,2 hektar, padahal luas minimum untuk pemenuhan kebutuhan hidup per-KK (kepala keluarga) di Jawa membutuhkan 0,5 hektar (Awang, 2006).
Bahkan kelompok masyarakat tani di Gunung Kidul, Yogyakarta, mendefinisikan miskin di hutan seperti ungkapan mereka, “Orang miskin itu bukan karena tidak memiliki beras, tetapi orang miskin tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka karena tidak ada jaminan penghasilan”. Jaminan penghasilan bagi petani hutan adalah akses terhadap kawasan hutan (lahan produksi).
Di luar Jawa, terkadang petani hutan terusir dari kawasan hutan. 62 tahun Indonesia merdeka, petani hutan dalam kelompok-kelompok masyarakat adat mendapat perlakuan “relokasi”, masyarakat dijauhkan dari ruang hidup sebenarnya -data terakhir yang terpantau oleh jaringan kehutanan sosial di Indonesia, ada sekitar 1.800 desa yang berbatasan dengan 14 kawasan konservasi di 5 pulau besar di Indonesia.
Tak jarang konflik-konflik terbuka antara petani dan petugas kehutanan mencuat hingga awal 2000-an. Pengusiran masyarakat adat Moronene di Nusatenggara dari kawasan hutan, bagaimana lahan dan tanaman kopi petani dirusak karena petani dianggap masuk ke kawasan hutan konservasi. Masyarakat adat Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali mengalami “resettlement”. Masyarakat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, ladang-ladang mereka dibakar aparat kehutanan dan pemerintah karena pokok-pokok pohon jati yang menggiurkan, sehingga kawasan yang turun-temurun itu diolah masyarakat Kontu dianggap kawasan lindung yang pengawasannya di bawah kehutanan dan pemerintah daerah. Dan banyak kasus “resettlement” dilakukan dengan berbagai alas an. Petani hutan menjadi miskin di hutan.
Nelayan miskin di laut. Kemaritiman Indonesia ditandai oleh garis pantai Indonesia yang mencapai hingga 81.000 km. Dan dengan begitu tidak salah bila Indonesia memiliki 67.439 desa pesisir (41 juta jiwa warga Indonesia berada di pesisir sebagai nelayan dan petani tambak). Akibat pembangunan maritim yang tidak berpihak kepada nelayan dan petani tambak, kurang lebih 9.261 desa pesisir adalah basis kemiskinan Indonesia.
Kemiskinan di masyarakat pesisir sudah berlangsung sejak lama, seperti yang diungkapkan Sopuan 66 tahun (Maret 2003), “Sebenarnya nelayan kerja mati-matian, tapi tetap miskin! Kami tidak mau dikatan malas. Renungan saya , hampir semua pulau telah saya singgahi, tetapi nelayan tetap miskin! Saya nelayan yang bodoh, tapi apakah yang di atas (Pemerintah -red) juga bodoh? Padahal Indonesia kaya sumberdaya alam.”
Nelayan-nelayan Indonesia adalah nelayan-nelayan tradisional. Penangkapan ikan disesuaikan dengan ilmu perbintangan untuk melihat pergantian musim, tanpa mengikuti perkembangan teknologi modern. Kemiskinan pada nelayan terjadi karena seperti apa yang mereka definisikan, “nelayan miskin adalah nelayan yang kehidupannya terancam karena penghasilannya rendah, tidak memiliki akses terhadap sumberdaya alam dan tata produksi secara adil serta tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya sebagai komunitas dan masyarakat yang bermartabat.”—rekomendasi pertemuan nelayan se-Jawa Tengah, Semarang 2003).
Permasalahan lain, masyarakat adat yang masih hidup secara nomaden di sepanjang laut pesisir di hampir semua pulau-pulau besar Indonesia dan negara tetangga, sering kali dianggap terbelakang dan miskin. Manusia perahu atau lebih dikenal dengan Suku Bajau dipaksa pindah ke daratan untuk program pengentasan kemiskinan yang justru semakin menjauhkan nelayan Bajau dari kehidupan sejatinya. Nelayan menjadi miskin di laut.
Dana Hijau (Utang dan Hibah)
Pembicaraan hangat negara-negara yang tergabung dalam PBB baru-baru ini tentang berbagai skema global dalam mengurangi terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim (lingkungan hidup) telah mendorong terbukanya peluang aliran dana bantuan (utang dan hibah) baru dari negara kaya kepada negara-negara miskin. Dana hijau akan segera masuk melalui skema-skema perdagangan karbon -pelepasan emisi karbon oleh aktivitas pembakaran mesin-mesin berbahan bakar fosil yang menyebabkan efek rumah kaca adalah faktor pendorong terjadinya pemanasan global.
Berkaca kepada masa lalu, belum hilangnya budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme di kalangan birokrasi Indonesia, dana hijau ini tentu cenderung untuk diselewengkan. Padahal dana hijau ini adalah alat politik dan ekonomi internasional dalam menemukan jalur baru penguasaan geopolitik dunia setelah cadangan minyak dunia menipis — Bank Dunia, saat ini mengelolah tidak kurang dari 10 dana karbon global yang bernilai 2 milyar USD atas nama 16 pemerintah dan 64 perusahaan swasta. Dan pilihan Indonesia untuk ini adalah skema REDD.
Jalur Karbon
Kompensasi dari adaptasi REDD (reduksi emisi dari pencegahan deforestasi bagi negara-negara berkembang) sangat menggiurkan. Dengan bermodal 144 milliar rupiah untuk penyelenggaraan UN Climate Change di Bali dalam sepekan di Desember nanti, Indonesia berharap untung hingga 33,75 trilliun rupiah pertahun bagi penjagaan kawasan hutan ke depan (Antara, 2007).
Untung ini tidak kecil bagi Indonesia. Bahkan, sebelum Rahmat Witoelar, Nabil Makarim yang menjabat Menteri Lingkungan Hidup pada pemerintahan Megawati memprediksikan Indonesia bisa mengantongi keuntungan sebesar 18 juta dollar Amerika pertahun dengan hanya menjaga hutan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara dari kerusakan. Dan sayangnya, Indonesia era itu tidak segera meratifikasi Protokol Kyoto (1997). Dan tidak bisa dibayangkan dampaknya kini, mungkin APBN Indonesia tidak selalu dihantui oleh “defisit anggaran” yang setahun sekali selalu memaksa Pemerintah merevisinya.
Itu jikalau, sedari awal Prokol Kyoto diratifikasi dan Indonesia sungguh-sungguh menjaga hutannya.
Mediodre
Dasar pejabat dan orang-orang kita masih memiliki mental “inlander”, dipikirnya uang 33,75 trilliun rupiah pertahun bisa membantu Indonesia lepas dari semua persoalan pembangunan (defisit APBN, kemiskinan, pengangguran, penipisan sumberdaya alam, korupsi, nepotisme, kehancuran lingkungan dan lain-lain). Bahkan hal yang sudah jelas saja semisal “pengerukan” sumberdaya hutan, tambang dan mineral yang ditengarai untuk membayar utang dan biaya pembangunan Indonesia sejak 1967 yang lebih besar dari nilai estimasi adaptasi REDD, tak jua bikin negeri ini lepas dari persoalan pembangunan dan dampaknya.
Tak salah memang apa yang disebut Rocky Gerung untuk para pemimpin Indonesia saat ini sebagai “mediocre” (low ability, value, quality, atau performance -dari Meriam-Webster) pada sebuah artikel hasil wawancara Maria Hartiningsih dengannya, di Harian Kompas beberapa waktu lalu. Pejabat LH dan delegasi RI untuk UN Climate Change agaknya pantas disebut para “mediocre”.
Geopolitik
Kalau kita mengingat bersama istilah “Jalur Sutera” yang diperkenalkan seorang geografer Jerman, Ferdinand von Richthofen, pada awal abad 19-an, fenomena perdagangan karbon akan membentuk “Jalur Karbon”.
Penguasaan geopolitik “Jalur Sutera” oleh pemain-pemain besar negeri penghasil sutera seperti India, China, Roma, Persia dan Arab tampak terasa di berbagai belahan dunia terutama bagi negeri-negeri kecil. Intervensi perdagangan global menciptakan perubahan peradaban baru. Negeri-negeri kecil di dunia menjadi kecina-cinaan, keindia-indian, keroma-romaan, kearab-araban, kepersia-persian.
Penguasaan geopolitik “Jalur Karbon” yang tertuang dalam berbagai perangkap Framework on Climate Change-nya PBB bisa jadi adalah duplikasi strategi geopolitik “Jalur Sutera”. Tentu pemain terbesarnya para penghasil emisi karbon adalah China, Amerika, Perancis, Jerman, Jepang, Australia, Inggris dan negara maju lainnya (Annex I). Negara-negara miskin yang diming-imingi uang sebagai imbal jasa menjaga hutannya di Selatan sudah terbayang akan seperti apa. Kebijakan politik dan ekonomi negara miskin (Selatan) akan diatur oleh negara-negara Utara, termasuk Indonesia.
Posisi Si Miskin
Melihat berbagai hal yang diuraikan sebelumnya, kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan bad governance. Tanpa perbaikan kebijakan atas ruang hidup dan sumberdaya alam yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, bantuan-bantuan melalui skema apapun untuk mengurangi terjadinya kemiskinan akan mengalami kendala yang serupa di masa lalu.
Sikap yang perlu diambil dalam konteks skema bantuan (utang dan hibah) melalui Jalur Karbon bagi kemiskinan Indonesia adalah:
- Menolak skema bantuan Jalur Karbon dalam bentuk utang (kredit), karena akan semakin menambah jumlah utang luar negeri Indonesia yang saat ini sudah mencapai 150 milyar dollar Amerika (batas toleransi rasio terhadap pendapatan negara sebesar 40%, dan utang Indonesia sudah menjadi 4 kali lipatnya, 160% dan angka ini juga karena pemerintah menanggung penuh utang-utang swasta). Dalam kondisi bad governance, pemerintah akan melenyapkan begitu saja utang-utang hijau ini untuk kepentingan golongan tertentu (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga kemiskinan semakin tidak terurus.
- Menolak skema utang Jalur Karbon yang akan diimplentasikan oleh swasta yang bergerak dalam industri “jasa hijau”. Swasta lalai melihat rambu-rambu sosial dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan dan laut dimana proyek penyerapan karbon dilakukan, bad corporate governance sering kali terjadi dan melanggar hak dasar kemanusiaan (HAM) masyarakat semisal intimidasi, teror, dan pembatasan gerak masyarakat dalam kawasan hidupnya dimana proyek-proyek swasta berlangsung.
- Mepertimbangkan secara seksama bantuan hibah asal Jalur Karbon terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Hibah Jalur Karbon akan hanya difokuskan kepada penyemalatan kawasan-kawasan hijau di hutan dan laut yang melalaikan keberadaan lingkungan sosial setempat. Menjauhkan masyarakat dari ruang hidup asalnya akan semakin memiskinkan.
- Menerima hibah Jalur Karbon dengan syarat, hibah digunakan untuk perbaikan dan melahirkan kebijakan-kebijakan sumberdaya alam yang mempercepat pengakuan-pengakuan hak dan akses rakyat atas sumberdaya alam yang selama ini menjadi persoalan kaum miskin utama di Indonesia.
- Semua aliran dana hibah Jalur Karbon harus dikontrol dan dimonitoring oleh para negara “pembeli” dan “penjual” karbon dalam kelembagaan yang partisipatif dan multipihak (konsorsium antar negara). Agar negara-negara pembeli memiliki tanggungjawab penuh (termasuk pembiayaan) atas proyek penyelamatan bumi ini dan meminimalisir terjadinya penyelewengan-penyelewengan penggunaan.