Mat Cutik, Relawan DKR
Raut muka yang menua bagi Mat Cutik (52 th) tak jadi simbol runtuhnya semangat untuk tetap mengabdi pada sesamanya. Aktivis masyarakat Desa Talang Nangka, Kecamatan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI) ini hampir setiap harinya mengantar warga yang sakit untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit terdekat secara gratis. Tugas mulia ini ia lakukan karena merasa bertanggung jawab atas tugas yang diembannya sebagai Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) di desanya.
“Sejak saya dipilih sebagai DKR, kerja saya antar orang sakit. Pakai ongkos sendiri. Kalau tak didampingi, biasanya mereka suka masih ditagih bayaran oleh rumah sakit,” jelas Mat Cutik saat ditemui di kediamannya di Desa Perigi Talang Nangka.
Lelaki setengah baya ini, sudah sekitar 18 tahun menduda cerai, yang sebelumnya cukup disibukkan oleh urusan penyerobotan atas lahan rawa gambut warisan keluarganya yang dicaplok PT. Persada Sawit Mas di wilayah OKI, Sumatera Selatan. 5.000 ha lahan rawa gambut dengan kedalaman 50 cm-1 m milik masyarakat di 4 desa di OKI masuk dalam pengajuan areal HGU (Hak Guna Usaha) yang terbagi dalam blok yaitu Divisi I dan Divisi II. Setelah mendapatkan kepastian dari Bupati OKI tentang kawasan bersengketa pada 2005 tersebut dimana kawasan rawa gambut yang diklaim masyarakat akhirnya di-enclave.
“Saya jomblo, sudah 18 tahun menduda. Anak 3, satu ikut ibunya, dua lagi bersama saya,” ungkap Mat Cutik tentang status dirinya.
Mat Cutik adalah salah satu perintis perjuangan masyarakat 4 desa atas lahan rawa gambutnya yang dicaplok PT. Persada Sawit Mas. Walau kini meresa lega dengan adanya keputusan Bupati OKI tentang sengketa 5.000 ha, tapi masih ada yang mengganjal pikirannya. Dari penuturannya kepada penulis, lahan yang di-enclave tidak semuanya berjumlah 5.000 ha. Ada sekitar 700 ha lahan lagi (di Divisi I) yang masih berstatus ‘menggantung’, karena perusahaan masih menggarapnya seluas 400 ha di wilayah Parigi Talang Nangka dengan tanaman sawit.
“Yang jadi pikiran saya, 700 ha masih ngambang. Belum jelas. Ya saya harap ada kejelasan. Karena saya menggantungkan ke lahan itu,” tutur Mat Cutik yang saat ini tidak punya usaha tani atau ladang kecuali mendarmakan diri menjadi ‘pengantar’ warga miskin di desanya yang hendak berobat gratis ke puskemas atau rumah sakit terdekat.
Harapan Mat Cutik dan sebagian besar warga di Parigi Talang Nangka, lahan enclave itu dapat diusahakan tanaman karet. Salah satu alasannya, karena perusahaan sudah terlanjur membuat kanal atau saluran air yang meilintasi 4 desa di wilayah bekas sengketa antara masyarakat dengan PT. Persada Sawit Mas.
“Saya tak usaha ladang. Untuk makan dan hidup sehari-hari mengandalkan warisan orang tua. Dulu saya dapat gaji dari menjadi perangkat adat. Sekarang tidak. Ongkos antar warga ke rumah sakit keluar dari uang sendiri,” papar duda cerai beranak tiga ini.
Dalam perjalanan pulang menuju Kota Palembang keesokan harinya, telepon genggam penulis berdering, tampak di layarnya identitas penelepon, private number. Setelah terdengar suara penelpon, Mat Cutik yang menelpon penulis.
“Sudah balik dari desa? Saya sekarang di Palembang, di rumah sakit umum,” suara Mat Cutik yang sampai ke telepon genggam penulis.