Presiden Joko Widodo menyebutkan “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah dan Desa” (Butir ke-3 Nawacita). Sudah 4 tahun Nawacita bergaung, namun sudah sampai dimana butir ke-3 ini terlaksana. Dilatarbelakangi Nawacita butir ke-3 tersebut, Presiden Joko Widodo pun memberikan arahan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya, pemberian akses kelola Perhutanan Sosial harus aman dan tepat sasaran, yaitu masyarakat miskin, berlahan sempit atau tidak berlahan dan di dalam atau pinggir kawasan hutan.
Program Reforma Agraria-Perhutanan Sosial (RAPS) yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo sejak Januari 2017 untuk menjadi salah satu program prioritas nasional, dalam mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Integrasi Program Reforma Agraria dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan Program Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, reforma agraria menekankan pada aspek redistribusi lahan dan perhutanan sosial menenkankan pada akses terhadap lahan.
Sebagai upaya mempercepat dan mempermudah pelaksanaan butir ke-3 Nawacita, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Nomor : P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016) tentang Perhutanan Sosial, dengan target seluas 12,7 juta Ha hingga 2019 (RPJMN 2015-2019). Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjend PSKL) telah membangun 3 sistem penunjang program Pecepatan Perhutanan Sosial (PPS) yaitu menerbitkan secara berkala Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) sebagai peta acuan lokasi usulan, pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) di tingkat provinsi dan sistem layanan online permohonan perhutanan sosial.
Namun percepataan RAPS di daerah justru teridentifikasi adanya perlambatan bahkan pelemahan niat baik presiden tersebut, semisal Pokja PPS di daerah yang tidak dilibatkan secara efektif, KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) berpikir linier dan hanya berpedoman kepada RPHJP (Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang) bahkan menolak PIAPS (Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial) serta hanya mendorong Kemitraan sebagai skema PS, serta belum adanya anggaran Pokja PPS di daerah.
Dalam postur perencanaan nasional, PS dalam posisi yang kurang menguntungkan. Perhutanan sosial masuk kedalam proyek sektor, pemberdayaan masyarakat tidak termasuk dalam prioritas hanya sebagai indikator.
Harus ada terobosan Kementerian Perekonomian untuk mengangkat isu Reforma Agraria melalui PS dan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Diidentifikasi ada rekayasa BAPPENAS melemahkan RAPS, dimana TORA masuk kedalam rencana prioritas sedangkan PS hanya masuk ke indikator bahkan sektoral, sementara Kementerian Desa dan Kementerian Pertanian tidak turut berbicara bagaimana Reforma Agraria itu bisa terlaksana.
Kawan-kawan pendukung dan pegiat RAPS harus bisa melaporkan pelemahan Nawacita ini ke Presiden, bahwa BAPPENAS dan Kemenkeu mengganjal percepatan RAPS. Kawan-kawan NGO di nasional diantaranya perwakilan KpSHK, JKPP, FWI, RMI, BRWA, SAWIT WATCH, AMAN, LATIN, KPA, dan IBC, telah membahas bersama adanya indikasi pelemahan Nawacita dalam implementasi Reformasi Agraria dan Perhutanan Sosial sebagai Mandat Butir Ke-3 Nawacita Presiden.
Tercatat 9 indikasi pelemahan Nawacita dalam implementasi RAPS, mulai dari RAPS tidak menjawab konflik tenurial; RAPS minim anggaran, RAPS tidak didukung tenaga verifikasi yang cukup; RAPS tidak didukung POKJA yang efektif; RAPS tidak menyiapkan kanalisasi penyelesaian konflik tenurial; RAPS tidak didukung kebijakan yang lebih tinggi berupa Peraturan Presiden, RAPS implementasinya tidak menjadi program prioritas sehingga hanya bersifat sektoral; RAPS tidak jelas dalam medefinisikan Clean Clear and Fresh; serta RAPS tidak didukung dengan sinkronisasi antar kementerian dan lembaga terkait.
#KpSHK/Inal#